Ekspor Rumput Laut Gunungkidul ke Jepang dan Hongkong Tinggi, Pasokan Masih Minim

01 Oct 2024

Ekspor Rumput Laut Gunungkidul ke Jepang dan Hongkong Tinggi, Pasokan Masih Minim

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Di sebuah perempatan jalan kampung yang dikelilingi rumah model limasan dengan genteng kripik cokelat pekat, lelaki berkemeja merah dengan celana panjang cokelat tampak sedang membungkuk. Kepalanya tertutup topi yang warnanya pudar sebagaimana pakaian yang ia gunakan.

Di depannya gundukan tanah memanjang siap ditebar benih. Jumat, (20/9/2024) sore, Nuraji masih giat menebar benih. Rencananya, dia akan menanam timun dan tanaman hortikultura lain. Meski begitu, lahan pertanian tersebut hanya sampingan saja.

Masuk di lapangan itu, ada bau yang begitu kuat dan tak asing. Bau garam menguar bersama bau amis sebagaimana di kawasan pantai. Baunya sangat menusuk dan sedikit membuat pening kepala dan mual. Warga Padukuhan Dunggubah I, Duwet, Wonosari mungkin sudah terbiasa dengan bau ini apabila melintas di depan tempat pengolahan rumput laut milik Nuraji.

Bau ini ternyata berasal dari alga cokelat bernama latin Sargassum sp. Kondisinya yang masih basah dan ditimpa panas matahari menguarkan baunya yang khas. Rumput laut ini memang sengaja dijemur.

Selain Sargassum, ada tiga jenis rumput laut lagi yang ada di tempat pengolahan Nuraji, yaitu Ulva Lactuca, Pitata, dan Gelidium sp.

Nuraji lahir di Jawa Timur. Dia datang di Gunungkidul sejak 40 tahun lalu. Di usianya yang menginjak 84 tahun, dia masih setia menjadi seorang eksportir dan pengolah rumput laut.

“Sebelum ada Dinas Kelautan dan Perikanan Gunungkidul, saya sudah menetap di Gunungkidul dan mengelola-mengolah rumput laut,” kata Nuraji dengan suara berat dan terkesan menyeret kata demi kata.


Raut wajah Nuraji tampak tegas dan serius. Warna matanya pudar dan kulitnya gelap akibat puluhan tahun terbakar matahari. Meski begitu, badannya sekilas terlihat kokoh. Setiap langkahnya tegas dan tak limbung.

Nuraji menceritakan sempat bekerja di sebuah pabrik di Jakarta sebelum menjejakkan kaki di Gunungkidul. Di sana, dia juga bekerja di bidang yang tak lepas dari sumber daya laut. Sebab tak ingin selamanya menjadi buruh, dia memutuskan pindah di Gunungkidul.

Katanya, pilihan tersebut mempertimbangkan karakter orang Gunungkidul yang pekerja keras nan ulet. Di sinilah dia memulai usaha rumput laut yang akhirnya melahirkan UD. Rumput Laut Mandiri.

Rumput laut yang Nuraji olah berasal dari Pantai Selatan DIY, utamanya Gunungkidul. Dia membeli dari pengepul. Harganya bervariasi tergantung jenis dan kondisi rumput laut. Katanya, rumput laut yang tidak saling bercampur dengan jenis lain akan memiliki harga tinggi.

Suplai rumput laut pun tidak dapat dipastikan, tergantung situasi dan kondisi lautan. Ombak tinggi ditambah hujan mengguyur akan menurunkan suplai. Pada situasi-situasi itu, nelayan akan sedikit yang turun ke laut.
Gelidium lebih cepat dipanen daripada Ulva Lactuca, Pitata, dan Sargassum sp yang masa panennya setahun sekali. Padahal, menurut Nuraji, Pitata menjadi komoditas paling dicari oleh pasar internasional.

“Gelidium itu per 15 hari ada [dapat panen] atau satu bulan dua kali panen. Tapi tantangannya air laut harus surut dulu baru bisa diambil,” katanya.

Meski begitu, dalam setahun, ada tiga bulan di mana Nuraji sulit mendapat Gelidium lantaran gelombang besar akan terjadi di lautan.

Keran Ekspor dan Jalan Terjal

Di sisi yang lain lapangan, seorang lelaki yang berumur sekitar 80 tahun tampak memotong rumput laut menjadi potongan kecil. Rencananya, potongan ini akan diolah menjadi pupuk organik.

Hanya menggunakan tatakan kayu balok, lelaki tersebut menghentakkan parangnya ke arah rumput laut. Suaranya seperti hentakan pada drum yang diredam.

Nuraji kemudian mengajak Harianjogja.com masuk ke bangunan kecil tempat dia menyimpan olahan rumput laut menjadi agar-agar kertas.

Jangan dibayangkan, produk agar-agar ini kenyal berair. Sebaliknya, agar-agar ini justru mirip kerupuk berbentuk persegi nan tipis. Warnanya putih tanpa bau. Ternyata, agar-agar kertas ini perlu diolah dulu baru dapat dikonsumsi. Bahan bakunya tentu Gelidium.

UD. Rumput Laut Mandiri juga bekerja sama dengan Asosiasi Ulam Sari yang mengolah rumput laut menjadi produk lain seperti peyek dan rumput laut krispi.

Adapun ekspor rumput laut tergantung permintaan. Sebelum diekspor, rumput laut perlu diolah agar menjadi berwarna putih dan kering. Rumput ini kemudian dimasukkan ke dalam karung dan dikirim ke Surabaya.

Nuraji tidak mengirim langsung ke Jepang dan Hongkong. Ada perusahaan perantara yang mengekspor rumput laut miliknya.

Dalam satu kontainer berukuran 20 feet, Nuraji dapat memasukkan 11 ton rumput laut. Kontainer ini memiliki ukuran dimensi dalam dengan panjang 5,919 meter, lebar 2,34 meter, dan tinggi 2,38 meter.

Ihwal harga, perusahaan membeli rumput laut jenis Gelidium paling tinggi Rp21.000 per kilogram (kg). Harga ini tergolong rendah apabila membandingkan dengan harga beberapa tahun lalu yang menyentuh Rp26.000 – Rp28.000 per kg. Adapun Pitata menyentuh Rp40.000 – Rp38.000 per kg menjadi Rp30.000 – Rp31.000 per kg.

Khusus Gelidium, Nuraji membeli Rp8.000 – Rp9.000 per kg dari pengepul dengan kondisi belum dicuci. Sementara Pitata berada dikisaran Rp14.000 – Rp15.000 per kg dengan kondisi yang sama.


Sebenarnya permintaan rumput laut di pasar internasional tinggi. Namun, produksi rumput laut di lautan terbatas dan kadang sulit. Sebab itu, Nuraji sempat menyarankan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dulu datang ke tempat pengolahannya untuk membudidayakan rumput laut.

“Kalau semua pengepul aktif memasok rumput laut ke saya, satu bulan bisa mendapat 12 ton belum cuci dengan jenis Gelidium dan Pitata. Kalau Sargasum satu bulan bisa dapat 8 ton, sekarang baru sulit produksinya,” ucapnya.

Guna mencukupi kebutuhan rumput laut dan menjaga ritme pengolahan dan ekspor rumput laut, Nuraji juga mengupayakan suplai dari luar DIY. Keterbatasan suplai yang mengancam usahanya diperparah oleh minimnya modal.

Solusi yang ada di benaknya hanya satu. Nuraji akan menjual aset berupa tanah. Ada empat bidang tanah yang dia miliki. Dia menarget dapat memiliki tambahan modal hingga Rp1 miliar.

“Soalnya saya mau memiliki stok rumput laut juga. Jadi sewaktu-waktu ada orang yang butuh, bisa langsung saya kirim,” lanjutnya.

Usaha rumput laut ini mampu membiayai kuliah ketiga anaknya. Anak bungsunya saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi swasta di Jogja.

“Saya tidak ingin beralih. Saya sudah tua juga dan ingin melanjutkan usaha rumput laut. Kalau bisa saya turunkan ke anak,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Gunungkidul, Wahid Supriyadi mengaku pengolahan rumput yang dilakukan Nuraji merupakan bentuk pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang ada di wilayah Gunungkidul.

Menurut dia, potensi rumput laut yang ada untuk langsung diambil di pesisir pantai masih cukup terbuka lebar, karena sifatnya sumber daya alam yang renewable atau terbarukan.

Adapaun produksi rumput laut pada 2023 mencapai 169,6 ton yang selanjutnya diolah dengan berbagai produk, mulai dari kripik rumput laut, sebagai bahan tambahan keripik pathilo rumput laut.

“Rumput laut itu bisa juga untuk bahan setengah jadi bagi industri kosmetik hingga fertilizer,” kata Wahid, Jumat, (27/9).